Minggu, 22 November 2015

SEMANGAT DI DALAM MENCARI ILMU

Kalimat tauhid adalah dasar mutiara islam yang paling utama dan pangkal dari segala sifat-sifat kemuliaan. Segala amal kebajikan tidak akan diterima tanpa kemuliaan kalimat ini. Oleh karena itu, para sahabat pada zaman permulaan islam telah mengorbankan hampir seluruh tenaga dan upaya mereka untuk mensyiarkan kalimat tauhid ini dan menentang dengan gigih terhadap semua pihak yang mencoba menghalangi mereka. Walaupun mereka harus menyebrangi lautan dan menghadapi ganasnya peperangan sehingga hanya memiliki sedikit waktu untuk menelaah dan mempelajari secara mendalam ilmu pengetahuan agama. Meskipun demikian, mereka sangat menyadari betapa pentingnya mendalami lautan ilmu pengetahuan agama itu. Sehingga kegigihan semangat mereka telah mewarisi kita mutiara-mutiara pengetahuan yang mengupas isi kitab suci Al Qur’an dan kitab hadits.
Para sahabat dahulu hanya memiliki sedikit waktu untuk memperdalam ilmu agama karena mereka sibuk dalam berbagai peperangan ketika islam baru muncul. Ketika jumlah pemeluk islam berkembang dengan pesatnya, maka Allah Jalla Jallaluh menurunkan ayat-ayat Al Qur’an berikut ini:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya: "Tidak seharusnya semua orang mu'min itu berangkat ke medan perang. mengapa tidak berangkat satu rombongan dari tiap golongan untuk memperdalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan (pelajaran) kepada kaumnya apabila mereka sudah kembali. Mudah-mudahan mereka (kaumnya itu) waspada." (Qs. at Taubah [9]:122)

Abdullah bin abbas radiyallahu anhu menerangkan, "sesungguhnya lembaran ayat-ayat suci Al Qur'an yang diwahyukan pada zaman permulaan islam itu adalah menyeru setiap mu'min agar keluar di jalan Allah Ta'ala. Misalnya pada (Qs. at Taubah[9]:41) 

 انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Qs. at Taubah[9]:41) 

dan pada Qs. at Taubah [9]:39

إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: "Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. at Taubah [9]:39)

Ketentuan dari ayat-ayat di atas kemudian diubah dengan turunnya ayat yg menasihati supaya hanya sebagian saja yg meninggalkan tempat tinggal mereka. 

Kalangan sahabat pada waktu itu sangat sedikit jumlahnya sehingga mereka terpaksa memegang semua tanggung jawab dalam segala aspek agama islam. Dengan limpahan rahim Allah Ta'ala memberikan kepada setiap kumpulan dari kalangan para sahabat tugas yang sesuai dengan diri mereka masing-masing.

Setelah berlalunya zaman sahabat, nur Islam telah terpancar jauh dan meluas, dan jumlah pemeluk islam berkembang demikian pesatnya, para penerus islam tidak lagi memiliki kemampuan seperti para sahabat. Maka itu, Allah Ta'ala memilih segolongan dari mereka untuk memperdalam kajian-kajian islam. Golongan para Muhadditsin telah mengorbankan waktunya untuk mengumpulkan dan menyebarkan hadits-hadits. Begitu pula golongan Fuqaha (ahli hukum fiqih), Sufia (ahli ilmu dzikir), Qurra (ahli ilmu baca Al Qur'an), Mujahidin (pejuang-pejuang di jalan Allah), dan sebagainya. Jadi setiap golongan itu mengkhususkan diri pada bidang-bidang tertentu. Langkah-langkah memperdalam ilmu itu harus terus diperkuat sesuai dengan bidangnya masing-masing, karena seorang yang ahli dalam satu bidang akan sulit untuk menjadi ahli dalam bidang yang lain. Hanya para Rasul Allah terutama Muhammad shollallahu 'alayhi wassalam penghulu para Rasul yang dikaruniai kemampuan seperti itu.

sumber:
#himpunan kitab fadhilah a'mal 
#hikayat para sahabat hal.522
maulana muhammad zakariyya al-kandhalawi

Sabtu, 26 September 2015

Apa itu Wahabi? (bag.1)

بسم الله الرحمن الرحيم إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي …

 
  16574  66
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
فإن أصدقَ الحديث كتاب الله وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم وشرَّ الأمور محدثاتها وكلَّ محدثة بدعة وكلَّ بدعة ضلالة وكلَّ ضلالة في النار، أما بعد ؛
Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.
Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.
Pertanyaan yang amat singkat di atas membutuhkan jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin berikut ini:
  • Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.
  • Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
  • Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.
  • Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
  • Ringkasan dan penutup.
Keadaan yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi
Para hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara khusus.
Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.
Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.
Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.
Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.
Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.
Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.
Dalam keadaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
« إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا »
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)
Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.
Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)
tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untukmenuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan dakwah.
Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.
Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.
Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut
Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.
Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allahsubhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.”(QS. al-An-‘am: 112)
Bila kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.
Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim: “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti tuduhannya:
  • Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
  • Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
  • Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
  • Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
  • Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
  • Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
  • Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
  • Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
  • Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif,Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya)
-bersambung insya Allah-
*) Penulis adalah Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii,  Jember, Jawa Timur
***
Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia
Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *
Artikel www.muslim.or.id

Kamis, 17 September 2015

Dosa-Dosa Merupakan Sebab Perpecahan Antar Orang yang Saling Mencintai dan Perselisihan Qolbu

Segala pujian hanya bagi Allah, semoga shalawat dan salam tercurahkan atas Rasulullah serta keluarga beliau, sahabat beliau, dan orang-orang yang meniti jalan petunjuk beliau.
Adapun selanjutnya;
Sesungguhnya telah banyak terjadi perpecahan, perseteruan, perselisihan, dan perbedaan pendapat di tengah-tengah kaum mukminin. Yang demikian ini kembali pada sebab-sebab yang banyak, diantaranya adalah berbagai kemaksiatan dan dosa-dosa. Hal ini telah disebutkan di dalam sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dengan gamblang.
al-Imam Ahmad meriwayatkan di dalam “al-Musnad” dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam beliau bersabda :
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya (Allah) tidaklah ada dua orang yang saling mengasihi lalu keduanya berpisah, melainkan disebabkan dosa yang dikerjakan salah seorang dari keduanya”.
Hadits ini disahihkan oleh al-Albani rahimahullah di dalam “Shahih at-Targhib wa at-Tarhib” (2219).
Di dalam lafazh oleh al-Bukhari dalam “al Adabul Mufrod” dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Tidaklah ada dua orang yang saling mengasihi karena Allah ‘azza wa jalla atau karena Islam lalu keduanya berpisah, melainkan disebabkan dosa yang dikerjakan salah seorang dari keduanya”.
Disahihkan oleh al-Albani rahimahullah di dalam “Shahih al-Adabu al-Mufrod” (401) dan di dalam “ash-Shahihah” (637).
Berkata al-Munawi rahimahullah dalam “Faidhul Qadir Syarhul Jami’ ash-Shaghir” (5/437) :
“Lafazh مَا تَوَادَّ (maa tawaadda : tidaklah ada yang saling mengasihi) dibaca dengan tasydid, (antara dua orang karena Allah lalu saling berpisah antara keduanya, melainkan disebabkan dosa yang dikerjakan salah seorang dari keduanya), maka terjadinya perpisahan ini merupakan hukuman atas dosa tersebut. Oleh karenanya berkata Musa al-Kazhimi : “Jika telah berubah sikap sahabatmu kepadamu, maka ketahuilah bahwa hal itu disebabkan karena dosa yang telah engkau perbuat. Maka bertaubatlah dari segala dosa niscaya akan langgeng kasih sayang sahabatmu”.
Berkata pula al-Maziny : “Jika engkau dapati sikap keras/antipati dari saudara-saudaramu maka bertaubatlah kepada Allah, karena sesungguhnya engkau telah berbuat suatu dosa. Dan jika engkau dapati dari mereka bertambah sikap kasih sayang maka hal itu disebabkan amalan ketaatan yang engkau kerjakan, oleh karenanya bersyukurlah kepada Allah”.
Telah berkata al-Amir ash-Shon’ani di dalam “at-Tanwir Syarhu al-Jami’ ash-Shaghir” (9/379) :
“(Tidaklah ada dua orang yang saling mengasihi karena Allah lalu keduanya berpisah) setelah tadinya mereka berdua saling kasih-mengasihi, (melainkan disebabkan oleh dosa yang dikerjakan salah seorang dari keduanya). Maka ia mendapat hukuman dari Allah dengan terenggutnya hubungan persaudaraan yang ganjarannya amat besar di sisi Allah, karena sesungguhnya kemaksiatan-kemaksiatan itu akan merenggut barokahnya ketaatan. Berkata Musa al-Kazhimi : ” Jika telah berubah sikap sahabatmu kepadamu, maka ketahuilah bahwa hal itu disebabkan karena dosa yang telah engkau perbuat. Maka bertaubatlah dari segala dosa niscaya akan langgeng kasih sayang sahabatmu”.
Diantara contoh dari hal tersebut adalah:
Telah meriwayatkan dua syaikh (al-Bukhari dan Muslim, wallahu a’lam -ed), Abu Dawud, at-Tirmidzi dan yang selainnya dari an-Nu’man bin Basyir, beliau berkata : Telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam :
“Benar-benar kalian akan meluruskan shof-shof kalian, atau (jika tidak -ed) maka sungguh Allah akan membuat perselisihan diantara wajah-wajah kalian”.
Dan pada riwayat Abu Dawud yang lain dari an-Nu’man bin Basyir beliau berkata : Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menghadap orang-orang (ketika hendak sholat -ed) lalu berkata : “luruskanlah shof-shof kalian” -sebanyak tiga kali-, “demi Allah kalian benar-benar akan meluruskan shof-shof kalian atau sungguh Allah akan jadikan perselisihan diantara hati-hati kalian”. an-Nu’man mengatakan : “Maka aku melihat salah seorang menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kaki dengan mata kakinya”.
Disahihkan oleh al-Albani rahimahullah di dalam “Shahih Sunan Abu Dawud” (662).
Berkata an-Nawawi rahimahullah di dalam “Syarhu Muslim” (4/173) :
“(Benar-benar kalian akan meluruskan shof-shof kalian atau (jika tidak -ed) maka sungguh Allah akan memperselisihkan diantara wajah-wajah kalian). Dikatakan : maknanya adalah Allah akan memburukkannya dan mengubahnya dari bentuk/rupanya. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam : (Allah akan menjadikan rupanya
menjadi rupa keledai).
Dikatakan pula : Allah akan mengubah sifat-sifatnya. Dan yang lebih nampak (kebenarannya -ed) -wallahu a’lam- bahwa maknanya adalah : akan terjadi diantara mereka permusuhan dan kebencian, serta perselisihan qolbu.
Sebagaimana dikatakan : telah berubah wajah fulan terhadapku. Artinya telah
nampak dari wajahnya kebencian terhadapku dan telah berubah perasaannya terhadapku. Hal ini dikarenakan perselisihan mereka dalam shof merupakan perselisihan secara zhahir (nampak), sedangkan perselisihan zhahir mereka merupakan sebab dari perselisihan batin-batin mereka”.
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam “al-Fathu” (2/269) setelah menyebutkan perkataan an-Nawawi :
“Dan riwayat Abu Dawud dan selainnya menjadi penguat dengan lafazh : (atau sungguh Allah akan memperselisihkan hati-hati kalian) sebagaimana akan datang penyebutannya sebentar lagi”.
Berkata al-‘Azhim Abadi rahimahullah di dalam “‘Aunul Ma’bud Syarhu Sunan Abu Dawud” (2/295) setelah menukil perkataan an-Nawawi : “Riwayat ini (riwayat Abu Dawud -ed) menguatkan riwayat penulis (an-Nawawi)”.
Berkata as-Subki rahimahullah dalam “al-Manhalul ‘Adzbul Maurud fii Syarhi Sunan al-Imam Abu Dawud” (5/53) :
“Yang dimaksudkan dengan perselisihan diantara hati-hati
mereka adalah terjadinya permusuhan dan kebencian diantara mereka, sehingga sebagian mereka berubah sikap kepada sebagian yang lain, karena perselisihan mereka dalam shof merupakan perselisihan secara zhahir sedangkan perselisihan zhahir merupakan sebab dari
perselisihan batin”.
Berkata al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah di dalam “Tanbihul Afham Syarhu ‘Umdatil Ahkam” (1/181) :
“(atau sungguh Allah akan memperselisihkan) artinya : akan terjadi perselisihan diantara mereka. Huruf lam  (pada lafazh ليخالفن : layukhaalifanna : berselisih) sebagaimana huruf lam pada lafazh لتسون (latasawwanna : meluruskan), dan kata (atau) menunjukkan pilihan, maknanya : bisa jadi mereka meluruskan shof, atau terjadi perselisihan diantara wajah-wajah mereka jika tidak meluruskannya.
(diantara wajah-wajah kalian) artinya : diantara arah-arah pandang kalian, maka perselisihan itu muncul di setiap arah sehingga merekapun berpecah belah. Pada riwayat Abu Dawud disebutkan : ( demi Allah kalian benar-benar akan meluruskan shof-shof kalian atau sungguh Allah akan jadikan perselisihan diantara hati-hati kalian)”.
Pada poin ini berkata al-Qurthubi sebagaimana dinukilkan Ibnu Hajar dalam “al-Fathu” (2/269) :
“Maknanya adalah : kalian saling berpecah belah, sehingga setiap orang akan mengambil arah yang selain dari arah yang diambil oleh sahabatnya, karena sikap lebih mengedepankan dirinya daripada yang selainnya merupakan tempat sangkaan adanya rasa sombong yang akan merusak hati dan mengajak kepada perpecahan”.
Wahai saudara seiman, jika hukuman ini ditimpakan dengan sebab kemaksiatan tersebut (tidak meluruskan shof -ed), maka bagaimana lagi dengan kemaksiatan yang lebih besar dan lebih buruk daripadanya..?!
Ya Allah tutupilah aib-aib kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan perbaikilah hubungan diantara kami.
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga beliau.
—————————-
Diposting oleh : Yusuf Shafshaaf
Pada forum al-Ajurry : http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=42959&goto=newpost
Tanggal : 15 Sya’ban 1435 / 03 Mei 2015
Sumber: http://salafy.or.id/blog/2015/09/18/%D9%90dosa-dosa-merupakan-sebab-perpecahan-antar-orang-yang-saling-mencintai-dan-perselisihan-qalbu/

Kamis, 28 Mei 2015

Pentingnya Menyembunyikan AMAL IBADAH



Bismillahirrahmannirrahiim..

Sedikit berbagi tentang "Adab untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah".

Sebuah kebaikan tidak akan sempurna sampai kita melakukannya dengan 3 perkara, yaitu :
  1. menganggap remeh/kecil/kerdil bahwa setiap amalan yg kita kerjakan itu kita anggap kecil. segala kemampuan kita letakkan di pelupuk mata kita bahwa itu kecil maka kita akan sukses di depan Allah Ta'ala. Kita akan senantiasa mencari kesempurnaan di dalam ibadah karena ketika ketika menganggap itu kecil maka kita akan senantiasa berusaha memperbesar ibadah kita. Namun ketika kita menganggap itu banyak maka kita akan mengurangi tensi ibadah kita karena sudah merasa amal ibadah banyak.
  2. Al Abbas bin Abi Muthalib berkata: "Sembunyikan amal ibadah kita kecuali dalam rangka syiar atau amal ibadah tsb termasuk syiar seperti adzan, shalat 5 waktu berjamaah di masjid bagi laki2, shalat jumat, shalat id, atau dalam rangka berdakwah kita perlihatkan sedekah kpd anak kita agar dia termotivasi. Namun jika itu bukan syiar dan itu bukan dalam rangka berdakwah atau menolak fitnah, maka hukum asalnya kita sembunyikan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam bersabda dalam hadits yg dikeluarkan oleh Imam Al Khatib dalam kitab Tarikh nya: "Barangsiapa di antara kalian yg mampu menyembunyikan amal ibadanya yg mampu merahasiakan amal ibadahnya maka lakukanlah rahasiakan amal ibadah tersebut."

Pastikan jangan sampai ada orang yang mengetahui sehebat apa tahajud yg kita lakukan, sebanyak apa sedekah yg kita keluarkan, sembunyikanlah. Kita tidak akan mencapai kesempurnaan ibadah sampai kita menutupinya dari pandangan manusia.

Allah Ta'ala berfirman di dalam surah Al Baqarah ayat 271:

إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Baqarah: 271)

Dari ayat ini, hukum asalnya maka apabila amal-amal itu ikhlas. Maka amal yg ikhlas dan tersembunyi maka pahalanya lebih besar daripada yg ikhlas namun nampak dari manusia.

Sembunyikanlah amal-amal ibadah kita sebagaimana kita menyembunyikan dosa-dosa kita.
Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa menyembunyikan amal shalih itu lebih ditekankan daripada menyembunyikan dosa atau aib-aib kita.

Masih ingatkah kita dengan 7 golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala?? dimana pada hari itu tidak ada naungan selain dari Allah, salah satu di antaranya adalah seseorang yg bersedekah lalu ia sembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya.

Sembunyikan amal ibadah Anda dari mata manusia termasuk orang-orang terdekat Anda yg selama ini selalu bersama Anda, seperti analogi tangan kanan dan tangan kiri.
Dimana ada tangan kanan disitu ada tangan kiri. Bahkan kedekatan tangan kanan dengan tangan kiri lebih dekat dari pasangan suami-istri,, sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dilakukan tangannya.

Paling tidak ada 1 saja ada amalan ibadah yang kita andalkan yang tidak ada yang tahu kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rutinkan amalan tersebut. Misalnya berdzikir, baca Al Qur'an, istighfar 100 kali dan sebagainya, hanya Allah dan kita yang tahu. Kalau kita bisa lakukan maka lakukanlah. Setiap hari ada kesempatan untuk menyembunyikan amalan kita.

Kemudian kata Rasulullah Shallallahu 'alayhi wassalam, dari 7 golongan tersebut, yang mendapat naungan dari Allah, yang terakhir adalah seseorang yang berdzikir kepada Allah seorang diri lalu tanpa terasa air matanya menetes.

Bahkan Hasan Al Bashri pun pernah menasihati bahwa jika kita sedang berdzikir atau membaca Al Quran atau mendengar kajian di tempat umum lalu kita ingin menangis, maka bangkitlah dari tempatmu lalu cari tempat yang kosong lalu menangislah hanya di hadapan Allah Ta'ala.

Dalam Q.S At Taubah 105

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Oleh karena itu sembunyikanlah amal ibadah kita, yang penting Allah tahu, bukan manusia yg tahu, bukan teman kita yang tahu. Bukankah Allah memotivasi kita dalam ibadah bahwa Allah Maha Tahu??? Yang penting kan Allah Tahu, Sang Pencipta kita tahu. Manusia tidak perlu tahu. Bagi orang beriman, cukuplah Allah Melihat.

"Barangsiapa yang mencintai Allah maka dia akan punya hasrat jangan sampai amal ibadah ia diketahui manusia."

Bahkan ketika kita kita cinta dengan pasangan kita (isteri/suami), pada saat berdua-duaan bukankah kita tidak ingin dlihat orang? mendapat tempat yang private bukan? sangat menginginkan memiliki waktu berduaan dengan pasangan sebagaimana pasangan yang saling mencintai. Tidak ingin ada orang lain yang melihat ketika sedang bermesraan. Begitu pula ketika hanya kita dan Allah yang tahu ketika ketika melakukan ibadah yang tahu hanya Allah dan hamba Nya itu. 

Dan ketahuilah apabila seluruh manusia bersepakat memberi manfaat kepada Anda maka tidak akan berhasil jika Allah tidak mentakdirkan. Hanya Allah yang bisa memberi mudharat dan manfaat kepada manusia. Mau dipuji sebanyak apapun, disanjung seperti apapun tidak akan mengubah takdir.

Ketika kita melakukan ibadah yang wajib dan sunnah itu berarti kita melakukan pendekatan dengan Allah (Ta'aruf), ia ingin berkhalwat dengan Allah.

"Barangsiapa mencintai Allah maka ia akan berhasrat akan amal ibadahnya tidak ingin diketahui manusia."

Ketika tak seorang manusia mengetahui amalan ibadah kita maka itu lebih baik bagi kita. Sebab ketika kita mendapat pujian dari manusia itu bisa merusak kualitas amal-amal kita karena pujian itu mematikan, pujian itu membahayakan hidup kita di dunia dan akhirat karena akan terbuka pintu riya dan pintu sum'ah. Noda-noda keikhlasan yang bernama riya' (memperlihatkan amalan kita agar orang memuji kita) dan sum'ah (memperdengarkan amalan agar diketahui pihak lain dan pihak lain memuji kita).

Sembunyikan amal ibadah kita,, sembunyikanlah..

Dengan ikhlas yang sempurna maka pahalanya juga akan sempurna..

Semoga bermanfaat. Jazakumullahu khairan!!






Selasa, 26 Mei 2015

Cinta part 1





Kedudukan seorang hamba yang dicintai Allah, derajatnya lebih tinggi dan mulia di sisi Allah daripada seorang hamba yang mencintai Allah. Maka, yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai Allah, melainkan bagaimana agar Allah mencintaimu.

Cinta itu tumbuh dan tidak kering. Bertambah kebeningan dan kejernihannya jika untuk dan karena Allah.

Cinta yang terpuji adalah cinta yang memberikan manfaat kepada orang yang merasakan cinta itu untuk kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Cinta inilah yang menjadi asas kebahagiaan. Sedangkan cinta bencana adalah cinta yang membahayakan pelakunya di dunia maupun akhirat dan membawanya ke pintu kenistaan serta menjadikannya asas penderitaan dalam jiwanya.

Ibnu Qayyim rahimahullâh dalam kitab ad-Dâ' wa ad-Dawâ' (Penyakit dan Obat): “Cinta membangkitkan jiwa dan menata prilaku. Mengungkapkannya adalah suatu kewajaran dan memendamnya menjadi beban.” Lalu, beliau berkata: “Mereka berucap: ‘Kita tidak memungkiri kerusakan cinta jika terbumbui oleh perbuatan tercela kepada sesama makhluk. Yang kita dambakan adalah cinta suci dari seorang laki-laki idaman yang selalu komitmen kepada agama, kehormatan, dan akhlak. Jangan sempat cinta itu menjadi jurang pemisah antara menusia dengan Khaliq-nya dan menyebabkan antara pecinta dengan yang dicintainya jatuh ke dalam perbuatan nista.

Cinta adalah tempat persinggahan yang menjadi ajang perlombaan bagi orang-orang yang bersaing, jadi sasaran mereka beramal, menjadi curahan yang mencinta, dengan sepoi angin cinta, para hamba yang beribadah merasakan ketenangan.

Cinta adalah santapan hati, gizi dan kegemaran jiwa. Cinta ibarat kehidupan, sehingga orang yang tidak memilikinya tak ubahnya jasad tak bernyawa. Cinta adalah pelita. Siapa yang tidak menjaganya, dia ibarat tengah berada di lautan yang gelap gulita.

Cinta adalah obat penawar. Siapa yang tak memilikinya, hatinya dihinggapi beragam penyakit. Cinta adalah kelezatan. Siapa yang tidak merasakannya, maka seluruh hidupnya diwarnai gelisah dan penderitaan.






Senin, 25 Mei 2015

Jangan Tajassus !!!

Allah jalla wa ‘ala berfirman,
وَلَا تَجَسَّسُوا
“Janganlah kalian ber-tajassus (mencari-cari kejelekan orang lain).” [Al-Hujurat: 12]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
أي لا تسألوا عن السر
“Maknanya: Janganlah bertanya (untuk mencari-cari aib) yang tersembunyi.” [Fathul Baari, 1/96]
Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
أي: لا تفتشوا عن عورات المسلمين، ولا تتبعوها، واتركوا المسلم على حاله، واستعملوا التغافل عن أحواله التي إذا فتشت، ظهر منها ما لا ينبغي.
“Maknanya: Janganlah kalian memeriksa dan mencari-cari aib-aib kaum muslimin, biarkanlah seorang muslim sesuai kondisinya dan hendaklah menutup mata dari kondisi-kondisinya yang apabila engkau memeriksanya, nampak darinya apa yang tidak sepatutnya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 801]
AGUNGNYA KEHORMATAN SEORANG MUSLIM MELEBIHI KAKBAH MAKA JANGANLAH ENGKAU MEMBURU DAN MENGOLEKSI AIB SAUDARAMU:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَا هُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Janganlah kalian saling dengki, janganlah saling melakukan najasy (menawar suatu barang dengan harga yang tinggi padahal tidak niat membelinya tetapi hanya untuk memancing orang lain agar menawar dengan harga yang lebih tinggi), janganlah saling membenci, janganlah saling mencari-cari kejelekan, janganlah saling membelakangi, janganlah sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka janganlah menzaliminya, janganlah menghinanya, (dalam riwayat At-Tirmidzi: janganlah mengkhianatinya dan janganlah berdusta kepadanya) dan janganlah merendahkannya.
Ketakwaan itu di sini, seraya beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek apabila dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Sahabat yang mulia Ibnu Umar radhiyallaahu’anhuma berkata,
صَعِدَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ فَنَادَى بِصَوْتٍ رَفِيعٍ ، فَقَالَ : يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ ، لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
قَالَ : وَنَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْمًا إِلَى البَيْتِ أَوْ إِلَى الكَعْبَةِ فَقَالَ : مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ ، وَالمُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang, beliau bersabda:
“Wahai orang yang baru masuk Islam dengan lisannya, sedang iman belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah merendahkan mereka, dan janganlah mencari-cari aib-aib mereka, karena sesungguhnya, barangsiapa yang mencari-cari aib saudara muslimnya maka Allah akan mencari-cari aibnya, dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya niscaya Allah akan menyingkap kejelekannya walaupun terdapat di dalam rumahnya.”
Suatu hari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma melihat kakbah, lalu beliau berkata: Betapa agungnya dirimu wahai kakbah, dan betapa agungnya kehormatanmu, akan tetapi seorang mukmin lebih mulia darimu di sisi Allah ta’ala.” [HR. At-Tirmidzi, Shahihut Targhib: 2339]
KEUTAMAAN MENUTUPI AIB SEORANG MUSLIM:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib orang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

#REPOST