Selasa, 19 Januari 2016

Menuduh Muslim Tanpa Bukti ( Akhlak Tercela Penyebab Petaka )

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Alhamdulillah wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah wa ‘alaa aalihi wa shohbihi ajma’ien. Wa ba’du.

Saudaraku, ketahuilah bahwa menuduh seorang muslim dengan tuduhan-tuduhan keji seperti pengikut aliran sesat, pemecah belah umat, ahlul bid’ah dan tuduhan lainnya sementara tidak ada bukti yang bisa dipegangi bukanlah perkara ringan di sisi Alloh Ta’aala. Sungguh semua itu termasuk perkara yang ringan di lisan namun memiliki konsekuensi yang berat dalam pandangan Alloh ‘Azza wa Jalla.

Alloh berfirman tentang berita bohong  yang ditujukan kepada  Ummul Mu’minin ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha :

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًاوَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ 

“Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Alloh adalah besar.” QS. An Nuur ; 24 : 15

Betapa banyak orang memberikan pernyataan tentang keadaan saudaranya yang muslim itu tanpa dipikirkan lebih mendalam atau diperiksa kebenaran beritanya terlebih dahulu. Akibatnya, berbagai pembicaraan tentang keadaan seorang muslim apakah berupa aib, desas-desus  atau tuduhan keji tanpa bukti menjadi perkara yang biasa dan bahkan berkembang pesat di masyarakat kecuali mereka yang dirahmati Alloh Ta’aala. Tak heran, dalam masyarakat seperti ini ada orang yang melabeli seorang muslim yang menjauhi syirik, bid’ah dan penyimpangan lainnya sebagai orang sesat, gila dan tuduhan keji lainnya. Padahal orang yang berkomentar itu sholat saja tidak, bisa ngaji juga tidak dan hidupnya pun bergelimang dosa, kezholiman dan kelalaian. Wallohul Musta’aan.

Saudaraku, sungguh begitu banyak beban yang akan dipikul dan bahaya yang akan ditemui oleh mereka yang tidak pandai menjaga lisannya dari melontarkan kekejian dan tuduhan kepada seorang muslim. Apalagi jika yang dituduh itu adalah para ‘Ulama dan da’i-da’i Ahlussunnah wal Jamaa’ah yang hidup dan matinya di jalan Alloh untuk membentengi agama-Nya dari segala rongrongan para penyimpang serta menyibukkan waktu dan kehidupannya untuk membimbing umat Islam kepada ajaran Islam yang bersih dari syirik, bid’ah dan penyimpangan lainnya. Maka bahaya yang akan diterima oleh mereka yang tidak pandai menjaga lisannya itu lebih dasyat lagi dari sekedar menuduh seorang muslim kalangan biasa.

Saudaraku, berikut di antara bahaya menuduh seorang muslim tanpa bukti. Semoga Alloh menjauhkan kita semua dari akhlak buruk pembawa petaka ini, aamien.

Pertama, termasuk perbuatan melanggar kehormatan seorang muslim.

عَنْ أَبِيْ بَكْرَةٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِيْ خُطْبَتِهِ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ رواه البخاري ومسلم وغيرهما

 Dari Abu Bakrah rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji Wada’, ‘Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah harom atas kalian seperti haromnya hari kalian ini, pada bulan ini dan di negeri kalian ini. Ketahuilah, bukankah aku telah menyampaikannya?”  HSR, Bukhori dan Muslim. Lihat Shohiehut Targhieb wat Tarhieb  karya Syaikh Al Albani rohimahulloh no. 2828

Kedua, menunjukkan keimanannya belum sempurna.

Saudaraku, orang yang menodai kehormatan saudaranya yang muslim apakah dengan cara merendahkannya, menggunjingnya atau menuduhnya dengan suatu tuduhan yang keji tanpa bukti maka orang tersebut imannya masih bermasalah dan belum sempurna. Mungkinkah seorang muslim yang mencintai saudaranya yang muslim mau menodai kehormatan saudaranya?

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ  لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Tidak beriman seorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya.” HSR. Al-Bukhori no. 13 dan Muslim no. 179.

Ketiga, menunjukkan kualias keislamannya masih bermasalah.

Seorang muslim yang meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat termasuk orang yang baik keislamannya. Maka seorang muslim yang lisan dan tangannya membuat tidak nyaman saudaranya termasuk orang yang kualitas keislamannya masih bermasalah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلمقَالَ : الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Dari Abdulloh bin Amr bin al-‘Ash rodhiyallohu ‘anhuma dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Orang muslim itu adalah orang yang kaum muslimin selamat dari kejahatan lisan dan tangannya.” HSR. Al Bukhori no. 10 dan Muslim no. 171.

Keempat, termasuk kedustaan.

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu ia berkata:    Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seorang dikatakan berdusta apabila ia menceritakan seluruh yang ia dengar. HSR. Muslim. Lihat Shohiehul Jaami’ karya Syaikh Al Albani rohimahulloh no. 4482

Orang yang menyebarkan berita tentang seorang muslim-apalagi tentang aibnya- tanpa diperiksa terlebih dahulu benar dan tidaknya maka ia termasuk berdusta sebagaimana kandungan hadits tersebut.

Kelima, termasuk perbuatan menyakiti hati seorang muslim.

Alloh Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. QS. Al Ahzaab ayat 58

Keenam, jika apa yang ditudukan itu tidak benar maka tuduhan itu akan kembali kepada sang penuduh.

عَنْ أَبِى ذَرٍّ - رضى الله عنه - أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « لاَ يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوقِ ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إِنْ لَمْ يَكُنْصَاحِبُهُ كَذَلِكَ

Dari Abu Dzar rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah seorang menuduh orang lain sebagai fasik atau kafir melainkan tuduhan tersebut akan kembali kepadanya apabila orang yang dituduhnya itu tidak demikian.” HSR. Al Bukhori no. 6045

Ketujuh, Alloh Ta’aala akan membongkar aib sang penuduh walau ia berada di rumahnya.

عَنْ أَبِى بَرْزَةَ الأَسْلَمِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِى بَيْتِهِ.

Dari Abu Barzah al-Aslamie rodhiyallohu ‘anhu ia berkata : Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk ke dalam hatinya janganlah menggunjing kaum muslimin dan janganlah mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka maka Alloh akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Alloh niscaya Dia akan menyingkap aibnya meskipun dia ada dirumahnya.” HR. Abu Dawud dalam sunannya no. 4882. Hadits ini dinilai hasan shohieh oleh Syaikh Al Albani rohimahulloh dalam Shohiehut Targhieb wat Tarhieb no. 2340

Kedelapan, termasuk perbuatan memakan daging saudaranya sendiri.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ رَجُلٌ، فَوَقَعَ فِيهِ رَجُلٌ مِنْ بَعْدِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:تَخَلَّلْ، قَالَ: وَمَا أَتَخَلَّلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَكَلْتُ لَحْمًا؟ قَالَ:إِنَّكَ أَكَلْتَ لَحْمَ أَخِيكَ.

Dari Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Kami berada di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam lalu seorang laki-laki bangkit lalu yang lain menjelek-jelekannya. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bersihkanlah gigimu!” Orang itu menjawab : “Dari kotoran apa aku harus membersihkannya? Saya tidak memakan daging sedikitpun.” Beliau menjawab : “Kamu telah memakan daging saudaramu.” HR. Thobronie dalam Mu’jamul Kabir no. 9947 dan lainnya. Dinilai shohieh lighoirihi oleh Syaikh Al Albani rohimahulloh dalam Shohiehut Targhieb wat Tarhieb no. 2837

Kesembilan, Alloh ‘Azza wa Jalla menyiapkan minuman yang berasal dari lumpur perasan nanah penduduk neraka bagi orang yang menuduh seorang mu’min.

Dari Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata : “Aku telah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

...وَمَنْ قَالَ فِى مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

 “…Barangsiapa yang berbicara jelek tentang seorang mu’min apa yang tidak dimilikinya maka Alloh akan memberikannya minuman lumpur perasan nanah penduduk neraka sampai dia keluar dari sesuatu yang dia katakan. HR. Abu Dawud dalam sunannya no. 3599 dan dishohiehkan oleh Syaikh Al Albani rohimahulloh dalam Shohiehut Targhieb no. 2845

Kesepuluh, menyia-nyiakan salah satu kesempatan mendapatkan pembelaan Alloh Ta’aala di hari kiamat.

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَرُدَّ عَنْهُ نَارَ جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

Dari Abu Darda rodhiyallohu ‘anhu dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya niscaya Alloh akan memalingkan wajahnya dari api neraka pada hari kiamat.” HR. Ahmad dalam musnadnya no. 28308 dinilai shohieh lighoirih oleh Syaikh Al Albani rohimahulloh dalam Shohiehut Targhieb wat Tarhieb no. 2848.

Saudaraku demikian dapat disampaikan. Semoga Alloh melindungi kita semua dari segala ucapan dan amalan yang mendatangkan kemurkaan-Nya dunia dan di akhirat kelak. Dan pada akhirnya semoga Alloh menjadikan kita termasuk penduduk surga-Nya kelak, aamien.

و صلى الله على محمد و على آله و صحبه أجمعين

Sumber : Buletin Sabilul Mu’minin no. 25 Thn ke VI Tgl. 19 Rojab 1431 H / 2 Juli 2010 M dengan sedikit perubahan.



Berkenalan Dengan Fitnah

Kata fitnah (الفِتْنَةُ) sering terlintas di telinga kita dan terucap di lisan, namun masih banyak orang yang belum memahaminya dengan baik. Sebab ketika mendengar kata fitnah, maka dalam benak kita langsung mengarah kepada makna yang sempit yaitu “tuduhan yang tidak dilandasi bukti yang benar kepada seseorang atau kelompok tertentu dengan maksud menjelekkan orang (seperti, menodai nama baik, dan merugikan kehormatan orang)”.
Padahal sebenarnya kata fitnah memiliki cakupan makna yang cukup luas daripada itu.
Fitnah berasal dari bahasa arab. Para ahli bahasa Arab menjelaskan bahwa dalam kata fitnah terkandung makna ujian (الامْتِحَانُ) dan upaya untuk menyingkap sesuatu (الاِخْتِبَارُ). Oleh karenanya, kata fitnah pada asalnya digunakan untuk pengujian kadar keaslian emas atau untuk membedakan antara emas yang asli atau bukan, dengan cara dimasukkan ke dalam api yang panas. (Lihat Lisanul ‘Arab (13/317))
Di edisi kali ini, kami akan menjelaskan beberapa makna fitnah yang tertera di dalam Kitabullah agar kita tak salah kaprah tentang makna fitnah.

    Fitnah Bermakna Syirik (menyekutukan Allah dengan sesuatu dalam ibadah).
Allah -Subhana Wa Ta’ala- berfirman,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ  [البقرة/193]
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah (Syirik) lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 193)
Al-Imam Ibnu Jarir -rahimahullah- berkata, “Allah maksudkan, sampai tak ada kesyirikan (penyekutuan) terhadap Allah dan sehingga tak ada seorang pun yang disembah selain-Nya, penyembahan arca-arca, sesembahan dan tandingan sirna semuanya, serta ibadah dan ketaatan hanya untuk Allah saja, tanpa selain-Nya dari kalangan berhala dan arca”. [Lihat Jami’ Al-Bayan (3/570)]
Al-Imam Abu Muhammad Isma’il bin Abdir Rahman bin Abi Karimah Al-Kufiy -rahimahullah- berkata, “Adapun fitnah (الفِتْنَةُ), maka ia adalah kesyirikan”. [Lihat Tafsir Ath-Thobariy (no. 3117)]
Disana ada sebuah ayat yang sering disalahpahami oleh sebagian orang saat memaknai kata fitnah (الفتنة), yaitu ayat berikut,
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ [البقرة/191]
“Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka Telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah (kesyirikan) itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan “. (QS. Al-Baqoroh : 191)
Ayat ini sering disalahgunakan oleh kaum awam saat mereka mendengar ada seseorang yang menuduh orang lain, maka ia pun berkata dengan lugunya, “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”. Padahal para ulama telah menjelaskan bahwa dosa pembunuhan adalah dosa terbesar setelah kesyirikan”. [Lihat Al-Kaba’ir (hal. 12) karya Adz-Dzahabiy, Dar An-Nadwah Al-Jadidah]
Al-Imam Abul Khoththob Qotadah bin Di’amah As-Sadusiy -rahimahullah- berkata saat memaknai kata fitnah dari ayat di atas, “Kesyirikan lebih bahaya dari pembunuhan”. [Lihat Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Aayil Qur’an (no. 3098)]
Abul Faroj Abdur Rohman Ibnul Jawziy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Kata “fitnah” disini bermakna kesyirikan. Penafsiran ini dinyatakan oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ibnu Jubair dan Qotadah serta sekelompok ulama”. [Lihat Zaadul Masiir (1/210)]

Fitnah Bermakna Ujian dan Cobaan.
Allah -Subhana Wa Ta’ala- berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ  [الأنفال/28]
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan) dan bahwa di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Q.S. Al-Anfal: 28)
Al-Imam Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata, “Allah -Ta’la- memerintahkan manusia dalam ayat yang mulia ini agar mereka mengetahui bahwa harta dan anak adalah fitnah (ujian) yang dengannya mereka diuji”. [Lihat Adhwaa’ Al-Bayaan (2/51)]

Fitnah Bermakna Adzab (siksaan).
Allah -Ta’ala- berfirman,
إِنَّا جَعَلْنَاهَا فِتْنَةً لِلظَّالِمِينَ  [الصافات/63]
“Sesungguhnya Kami menjadikan pohon Zaqqum itu sebagai fitnah (siksaan) bagi orang-orang yang zalim.” (Q.S. Ash-Shaaffat: 63)
Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Qutaibah Ad-Dainuriy -rahimahullah- menjelaskan bahwa fitnah disini bermakna “siksaan”. [Lihat Ghoribul Qur’an (hal. 372) oleh Ad-Dainuriy, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1398 H]
Dari sinilah muncul istilah fitnah kubur, artinya siksa kubur atau ujian dan pertanyaan dua malaikat, Munkar dan Nakir di alam kubur.

Fitnah Bermakna Dosa.
Allah -Ta’ala- berfirman,
بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآَيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ  [العنكبوت/49]
“Di antara mereka ada orang yang berkata, “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah (dosa)”. Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah (dosa). Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Ankabut: 49).
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thobariy -rahimahullah- membawakan sebuah atsar dari Qotadah Al-Bashriy bahwa makna fitnah di dalam ayat ini adalah dosa (اْلإِثْمُ). [Lihat Jami’ Al-Bayan (no. 16791), dengan tahqiq Ahmad Syakir]

Fitnah Bermakna Pembakaran dengan Api.
Allah -Subhana Wa Ta’ala- berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ  [البروج/10]
“Sesungguhnya orang-orang yang mem-fitnah (membakar) orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.”  (Q.S. Al-Buruj: 10)
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, mereka membakar orang-orang beriman dengan api. Orang Arab bilang, “Si fulan mem-fitnah uang dirham dan dinar, bila ia memasukkannya ke dalam tungku api agar ia bisa melihat kualitasnya”. [Lihat Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an (19/295)]

Fitnah Bermakna Pembunuhan
Allah -Subhana Wa Ta’ala- berfirman,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا [النساء/101]
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar  sholat(mu), jika kamu takut di-fitnah (dibunuh) oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Q.S. An-Nisaa: 101).
Al-Imam Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghowiy -rahimahullah- menerangkan bahwa maksud dari kata di-fitnah adalah “dibunuh”. [Lihat Ma’alim At-Tanzil (1/685/695), cet. Dar Ihya’ At-Turots Al-Arobiy, 1420 H]

Fitnah Bermakna Berpaling dari Jalan yang Lurus.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ  [المائدة/49]
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak mem-fitnah (memalingkan) kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al-Maidah: 49).
Mem-fitnah disini bermakna “memalingkan” sebagaimana yang dituturkan Ahli Tafsir Negeri Syam, Al-Imam Ibnul Jauziy -rahimahullah- dalam Zaadul Masiir (2/221)
Inilah beberapa buah dalil yang menunjukkan bahwa kata fitnah (الْفِتْنَةُ) memiliki makna yang lebih luas. Telah menjadi ketetapan Allah yang tidak akan pernah berubah bahwa dalam kehidupan manusia sangat mustahil tanpa adanya fitnah. Cobaan dan ujian senantiasa mengitari kehidupan kita untuk mengetahui siapa yang jujur keimanannya dan yang hanya sekedar pengakuan belaka. Dengan adanya fitnah akan terlihat keteguhan hati dan kesabaran yang murni di atas ketaatan kepada Allah -Subhana Wa Ta’ala- sehingga pada akhirnya mereka akan keluar  dalam keadaan murni dan bersih sebagaimana murninya emas setelah dibakar ke dalam api. Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ  [البقرة/214]

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Q.S. Al-Baqarah: 214)

[source: http://pesantren-alihsan.org/berkenalan-dengan-fitnah.html]

Salah Paham tentang Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan

Judul di atas merupakan kalimat yang diterjemahkan dari firman Allah swt pada surat Al Baqarah [2]:191, lebih lengkap terjemahannya adalah: Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Kata fitnah yang dosanya lebih besar dari pembunuhan disebutkan pula dalam firman lain yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS Al Baqarah [2]:217).
Ayat ini penting untuk kita pahami karena ia seringkali digunakan untuk sesuatu yang bukan maksudnya, hal ini karena kata fitnah sudah menjadi bahasa Indonesia yang konotasinya adalah mengemukakan tuduhan negatif kepada seseorang padahal orang itu tidak seperti yang dituduhkan. Bisa jadi banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab atau dari kata yang terdapat di dalam Al-Qur’an tapi maknanya tidak seperti yang dimaksud oleh Al-Qur’an dan ketika orang menggunakan kata itu, ia menggunakan dalil Al-Qur’an untuk membenarkannya, bukankah ini namanya penyalahgunaan suatu ayat?.
Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, fitnah berasal dari kata fatana yang berarti membakar logam, emas atau perak untuk menguji kemurniannya. Juga berarti membakar secara mutlak, meneliti, kekafiran, perbedaan pendapat dan kezaliman, hukuman dan kenikmatan hidup.
MAKSUD AYAT.
Bila diteliti ayat sebelum dan sesudah ayat di atas, turunnya ayat ini menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya merupakan perintah atau izin kepada Nabi dan kaum muslimin untuk melakukan peperangan terhadap orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin, namun memerangi mereka yang memerangi kaum muslimin tidak boleh melampaui batas seperti membunuh musuh sampai memotong-motong atau mencincang mereka, membunuh wanita, anak-anak, orang tua yang lanjut usia, rahib dan pendeta yang ada di rumah ibadah mereka padahal mereka tidak terlibat dalam peperangan, membunuh hewan dan merusak lingkungan seperti menebang atau membakar pohon, merusak rumah ibadah dan sebagainya.
Dibolehkan dan diperintahkannya kaum muslimin memerangi orang-orang kafir karena kekufuran dan kemusyrikan serta menghalangi manusia dari jalan Allah merupakan perbuatan yang lebih parah dan lebih fatal, ini merupakan fitnah besar dalam kaitan dengan agama sehingga pada surat Al Baqarah [2] ayat 193, Allah swt berfirman: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Lebih lanjut, Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Dzilalil Quran menegaskan: “Sesungguhnya “fitnah terhadap agama” berarti permusuhan terhadap sesuatu yang paling suci dalam kehidupan manusia. Karena itu, ia lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, lebih kejam daripada membunuh jiwa seseorang, menghilangkan nyawa dan menghilangkan kehidupan. Baik fitnah itu berupa intimidasi maupun perbuatan nyata atau berupa peraturan dan perundang-undangan bejat yang dapat menyesatkan manusia, merusak dan menjauhkan mereka dari manhaj Allah serta menganggap indah kekafiran dan memalingkan manusia dari agama Allah itu”.
Sebagai agama yang menekankan perdamaian, pada dasarnya Islam tidak menghendaki terjadinya peperangan dan permusuhan antar manusia meskipun mereka berbeda agama, tapi bila orang-orang kafir sudah sampai pada tingkat memerangi kaum muslimin, maka pembalasan harus dilakukan dan bila mereka berhenti memerangi umat Islam apalagi mereka masuk Islam, maka permusuhanpun diakhiri. Karena itu, Sayyid Quthb menambahkan: “Betapa mulianya Islam ini. Dia melambai-lambaikan ampunan dan rahmat bagi orang-orang kafir dan menggugurkan hukum qishash dari mereka semata-mata karena mereka mau masuk ke dalam barisan Islam setelah sebelumnya mereka membunuh dan memfitnahnya serta melakukan berbagai macam tindakan kasar terhadapnya. Tujuan perang ialah memberikan jaminan agar manusia tidak difitnah lagi dari (memasuki atau melaksanakan) agama Allah, dan agar mereka tidak dijauhkan atau dimurtadkan darinya dengan kekuatan atau semacamnya seperti kekuatan undang-undang yang mengatur kehidupan umum manusia dan kekuatan-kekuatan untuk menyesatkan dan merusak”.
Macam-Macam Fitnah.
Fitnah yang dikategorikan lebih kejam dari pembunuhan bisa dikelompokkan menjadi beberapa macam. Pertama adalah syirik, yakni mensekutukan Allah swt, hal ini dinyatakan dalam firman Allah swt yang artinya: Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), Maka tawanlah mereka dan Bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. (QS An Nisa [4]:91)
Kedua, kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada kaum muslimin, Allah swt berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan (fitnah) kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan Kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.(QS Al Buruj [85]:10)
Menurut Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili, yang dimaksud dengan cobaan atau fitnah adalah berbagai macam siksaan seperti dibakar hidup-hidup supaya orang beriman menjadi murtad. Maka bila mereka tidak bertaubat, siksaan jahannam yang membakar mereka akan menjadi balasannya.
Pada masa Rasulullah saw banyak sahabat yang mengalami fitnah berupa siksaan seperti yang dialami oleh Bilal bin Rabah yang diseret di atas padang pasir yang panas, dicambuk, dijemur sampai ditindihkan batu besar. Begitu juga dengan Yasir dan Sumayyah yang akhirnya mati karena mengalami siksaan yang amat berat.
Ketiga adalah fitnah dalam arti memperebutkan harta yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang zalim saja, tapi bisa terjadi pada siapa saja karena sikap mereka yang melampaui batas, bahkan bisa jadi antar sesama saudara, suku dan dalam organisasi perjuangan, mereka bisa bermusuhan karena berebut harta. Hal yang amat mengkhawatirkan adalah dengan sebab harta seseorang menggadaikan nilai-nilai idealisme kebenaran yang selama ini telah diperjuangkannya dan ini merupakan fitnah yang besar, karenanya bagi mereka akan disiapkan siksa yang Amat keras, Allah swt berfirman: Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya (QS Al Anfal [8]:25).
Dalam menghadapi fitnah, setiap kita harus berlindung kepada Allah swt agar tidak termasuk orang-orang yang menjadi pelaku fitnah. Disinilah letal pentingnya bagi untuk memiliki kekuatan rohani.
#repost from http://www.eramuslim.com/peradaban/pemikiran-islam/drs-h-ahmad-yani-ketua-lppd-khairu-ummah-salah-paham-tentang-fitnah-lebih-kejam-dari-pembunuhan.htm#.Vp7WIPl97IU

DALIL DISYARI'ATKANNYA CADAR

DALIL DISYARI'ATKANNYA CADAR
Pertama : Para ulama sepakat bahwasanya wajib bagi istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menutup wajah dan kedua telapak tangan mereka.
Al-Qoodhy 'Iyaadh rahimahullah berkata
فهو فرض عليهن بلا خلاف في الوجه والكفين فلا يجوز لهن كشف ذلك
"Berhijab diwajibkan atas mereka (para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) pada wajah dan kedua telapak tangan –tanpa ada khilaf (di kalangan ulama)- maka tidak boleh bagi mereka membuka wajah dan kedua telapak tangan mereka" (sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 8/391)
Maka seluruh ulama –termasuk para ulama yang memandang tidak wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan- juga sepakat bahwa untuk para istri Nabi wajib bagi mereka menutup wajah dan kedua telapak tangan.
Allah berfirman
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka" (Al-Ahzaab : 53)
Ayat ini disepakati oleh para ulama bahwa ia menunjukkan akan wajibnya hijab dan menutup wajah, hanya saja para ulama yang membolehkan membuka wajah berpendapat bahwa ayat ini khusus untuk para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Akan tetapi pengkhususan tersebut terhadap para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja kurang tepat, ditinjau dari beberapa alasan :
- Yang menjadi patokan adalah keumuman lafal bukan kekhususan sebab. Meskipun sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan istri-istri Nabi akan tetapi lafalnya umum mencakup seluruh kaum mukminat
- Para istri Nabi lebih suci hati mereka dan lebih agung di hati kaum mukminin, selain itu mereka adalah ibu-ibu kaum mukminin, serta haram untuk dinikahi setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Meskipun demikian mereka tetap diperintahkan untuk berhijab dan menutup wajah mereka. Maka para wanita kaum mukminat lebih utama untuk menutup wajah mereka
- Allah menjadikan hikmah dari hijab dalam ayat ini adalah ((cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka)), padahal yang membutuhkan kesucian hati bukan hanya istri-istri Nabi, akan tetapi demikian juga seluruh kaum mukminat.
- Ayat selanjutnya setelah ayat ini adalah firman Allah
لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا (٥٥)
"Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai isteri-isteri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha menyaksikan segala sesuatu" (Al-AHzaab : 55)
Tentunya kita tahu bahwasanya meskipun yang disebut dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi akan tetapi hukumnya mencakup dan berlaku bagi seluruh kaum mukminat tanpa ada khilaf dikalangan para ulama.
Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barang siapa yang menggeret pakaiannya (isbal) karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat"
Maka Ummu Salamah berkata : فكيف يصنع النساء بذيولهن؟ "Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ekor-ekor rok mereka (yang terseret-seret di tanah-pen)?"
Nabi berkata : يُرْخِيْنَ شِبْرًا "Hendaknya mereka para wanita menjulurkan rok mereka hingga sejengkal"
Ummu Salamah berkata, إذاً تنكشف أقدامهن "Kalau hanya sejengkal maka akan tersingkaplah kaki-kaki mereka"
Nabi berkata, فيرخينه ذراعاً لا يزدن عليه "Mereka menjulurkan hingga sedepa, dan hendaknya tidak lebih dari itu" (HR At-Thirmidzi no 1731)
Hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara yang diketahui oleh para wanita di zaman Nabi bahwa kaki adalah aurot sehingga mereka berusaha untuk menutupinya bahkan meskipun dengan isbal (menjulurkan kain rok hingga tergeret di tanah). Jika kaki –yang kurang menimbulkan fitnah- saja wajib untuk ditutup maka bagaimana lagi dengan wajah yang merupakan pusat dan puncak kecantikan seorang wanita ??!!.
Ketiga : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لا تباشر المرأة المرأة، فتنعتها لزوجها كأنه ينظر إليها
"Janganlah seorang wanita menemui seorang wanita yang lain lalu setelah itu menyebutkan sifat-sifat wanita tersebut kepada suaminya, sehingga seakan-akan sang suami melihat wanita tersebut" (HR Al-Bukhari)
Sabda Nabi "Seakan-akan sang suami melihat wanita tersebut" merupakan dalil bahwasanya para wanita dahulu menutup wajah-wajah mereka. Jika wajah-wajah mereka terbuka wajahnya maka para lelaki tidak butuh untuk dibantu oleh seorang wanita untuk menceritakan sifat kecantikan para wanita karena para lelaki bisa melihat langsung.
Keempat : Hadits-hadits yang banyak yang menunjukkan disyari'atkanya seorang lelaki untuk nadzor (melihat wanita) yang hendak dilamarnya atau dinikahinya. Diantara hadits tersebut adalah : Dari Al-Mughiroh bin Syu'bah ia berkata :
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت له امرأة أخطبها. قال: "اذهب فَانْظُرْ إِلَيْهَا؛ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا". قال: فأتيت امرأة من الأنصار فخطبتها إلى أبويها وأخبرتهما بقول النبي صلى الله عليه وسلم. فكأنهما كرها ذلك. قال: فسمعتْ ذلك المرأة وهي في خدرها فقالت: إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرك أن تنظر فانظر، وإلا فأنشدك. كأنها أعظمت ذلك. قال: فنظرت إليها، فتزوجتها
"Aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu aku menyebutkan tentang seorang wanita yang aku lamar. Maka Nabi berkata, اذهب فَانْظُرْ إِلَيْهَا؛ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا "Pergilah dan lihatlah wanita tersebut, sesungguhnya hal itu lebih melanggengkan antara kalian berdua".
Maka akupun menemui wanita dari kaum Anshor tersebut lalu aku melamarnya melalui kedua orang tuanya dan aku kabarkan kepada kedua orang tuanya tentang perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka seakan-akan keduanya tidak suka akan hal itu. Lalu sang wanita mendengar percakapan kami –sementara ia di dalam pingitannya dalam rumah- lalu sang wanita berkata, "Kalau Rasulullah memerintahkan engkau untuk melihat maka lihatlah !, jika tidak maka aku memintamu untuk melihatku". Seakan-akan sang wanita mengagungkan perkataan Nabi. Lalu akupun melihatnya dan menikahinya"
Hadits ini merupakan dalil bahwasanya para wanita mereka berhijab dan menutup wajah-wajah mereka, karenanya seorang lelaki tidak mampu untuk melihat wajah mereka kecuali jika ingin melamar. Kalau para wanita telah terbuka wajah-wajah mereka maka tidak perlu seorang lelaki meminta izin kedua orang tuanya untuk melihat !!
CADAR WAJIB MENURUT MADZHAB SYAFI'I
Yang anehnya ternyata pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab Syafi'iyah adalah wajibnya menutup wajah, bukan hanya disunnahkan !!. Akan tetapi pendapat ini serasa asing dan aneh di tanah air kita yang notabene sebagian besar kita menganut madzhab syafi'i.
Sebelumnya penulis tidak menemukan perkataan Imam Syafi'i yang tegas dalam mewajibkan cadar, yang penulis dapatkan dalam kitab Al-Umm adalah hanyalah isyarat yang tidak tegas.
Imam Syafi'i berkata :
وَتُفَارِقُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فَيَكُونُ إحْرَامُهَا في وَجْهِهَا وَإِحْرَامُ الرَّجُلِ في رَأْسِهِ فَيَكُون لِلرَّجُلِ تَغْطِيَةُ وَجْهِهِ كُلِّهِ من غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا يَكُونُ ذلك لِلْمَرْأَةِ وَيَكُونُ لِلْمَرْأَةِ إذَا كانت بَارِزَةً تُرِيدُ السِّتْرَ من الناس أَنْ ترخى جِلْبَابَهَا أو بَعْضَ خِمَارِهَا أو غير ذلك من ثِيَابِهَا من فَوْقِ رَأْسِهَا وَتُجَافِيهِ عن وَجْهِهَا حتى تُغَطِّيَ وَجْهَهَا مُتَجَافِيًا كَالسَّتْرِ على وَجْهِهَا وَلَا يَكُونُ لها أَنْ تَنْتَقِبَ
"Dan wanita berbeda dengan lelaki (dalam pakaian ihram-pen), maka wanita ihromnya di wajahnya adapun lelaki ihromnya di kepalanya. Maka lelaki boleh untuk menutup seluruh wajahnya tanpa harus dalam kondisi darurat, hal ini tidak boleh bagi wanita. Dan wanita jika ia nampak (diantara para lelaki ajnabi-pen) dan ia ingin untuk sitr (tertutup/berhijab) dari manusia maka boleh baginya untuk menguraikan/menjulurkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau yang selainnya dari pakaiannya, untuk dijulurkan dari atas kepalanya dan ia merenggangkannya dari wajahnya sehingga ia bisa menutup wajahnya akan tetapi tetap renggang kain dari wajahnya, sehingga hal ini seperti penutup bagi wajahnya, dan tidak boleh baginya untuk menggunakan niqoob" (Al-Umm 2/148-149)
Beliau juga berkata :
وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تجافى الثَّوْبَ عن وَجْهِهَا تَسْتَتِرُ بِهِ وتجافى الْخِمَارَ ثُمَّ تَسْدُلَهُ على وَجْهِهَا لَا يَمَسُّ وَجْهَهَا
"Boleh bagi wanita (yang sedang ihrom-pen) untuk merenggangkan pakaiannya dari wajahnya, sehingga ia bersitr (menutup diri) dengan pakaian tersebut, dan ia merenggangkan khimarnya/jilbabnya lalu menjulurkannya di atas wajahnya dan tidak menyentuh wajahnya"(Al-Umm 2/203)
Beliau juga berkata :
وَأُحِبُّ لِلْمَشْهُورَةِ بِالْجَمَالِ أَنْ تَطُوفَ وَتَسْعَى لَيْلًا وَإِنْ طَافَتْ بِالنَّهَارِ سَدَلَتْ ثَوْبَهَا على وَجْهِهَا أو طَافَتْ في سِتْرٍ
"Dan aku suka bagi wanita yang dikenal cantik untuk thowaf dan sa'i di malam hari. Jika ia thowaf di siang hari maka hendaknya ia menjulurkan bajunya menutupi wajahnya, atau ia thowaf dalam keadaan tertutup" (Al-Umm 2/212)
Seorang wanita disyari'atkan untuk menggunakan niqob (cadar), hanya saja tatkala ia sedang dalam kondisi ihrom maka rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang wanita untuk menggunakan niqoob, yaitu cadar.
Akan tetapi Al-Imam Asy-Syafi'i –dalam pernyataannya ini- menjelaskan jika seorang wanita baarizah (nampak di kalangan manusia), lalu ia ingin sitr (menutupi dirinya/berhijab) dari manusia (para lelaki asing) yaitu jika ia ingin menutup wajahnya maka caranya dengan menjulurkan kain dari atas kepalanya sehingga menutupi wajahnya, akan tetapi tidak melekat dan menempel di wajahnya sebagaimana halnya cadar yang diikat sehingga menutup wajahnya. Dan juluran kain tersebut menurut Imam Syafi'i kedudukannya seperti penutup bagi wajahnya.
Sangat jelas bahwa menutup wajah tetap disyari'atkan meskipun dalam kondisi ihrom. Hanya saja memang dalam pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i ini tidaklah tegas menunjukkan bahwa menutup wajah bagi wanita hukumnya wajib.
Pernyataan-pernyataan wajibnya bercadar kita dapatkan secara tegas dari perkataan mayoritas para ulama syafi'iyah. Dan para ulama syafi'iyah membedakan antara aurot wanita tatkala sholat dan tatkala di hadapan lelaki asing. Dalam sholat wajah dan telapak tangan dibuka, adapaun diluar sholat di hadapan lelaki asing maka wajah adalah aurot dan harus ditutup.
Berikut nukilan pernyataan mereka, yang akan penulis klasifikasikan menjadi dua, (1) para fuqoha' syafi'iyah dan (2) pafa mufassir syafi'iyah
PERTAMA : PARA FUQOHA SYAFI'IYAH :
Diantara mereka :
(1) Imamul Haromain al-Juwaini, beliau berkata :
مع اتفاق المسلمين على منع النساء من التبرج والسفور وترك التنقب
"…disertai kesepakatan kaum muslimin untuk melarang para wanita dari melakukan tabarruj dan membuka wajah mereka dan meninggalkan cadar…"(Nihaayatul Mathlab fi Dirooyatil Madzhab 12/31)
(2) Al-Gozali rahimahullah, beliau berkata :
فإذا خرجت , فينبغي أن تغض بصرها عن الرجال , ولسنا نقول : إن وجه الرجل في حقها عورة , كوجه المرأة في حقه, بل هو كوجه الصبي الأمرد في حق الرجل , فيحرم النظر عند خوف الفتنة فقط , فإن لم تكن فتنة فلا , إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه , والنساء يخرجن منتقبات , ولو كان وجوه الرجال عورة في حق النساء لأمروا بالتنقب أو منعن من الخروج إلا لضرورة
"Jika seorang wanita keluar maka hendaknya ia menundukkan pandangannya dari memandang para lelaki. Kami tidak mengatakan bahwa wajah lelaki adalah aurot bagi wanita –sebagaimana wajah wanita yang merupakan aurot bagi lelaki- akan tetapi ia sebagaimana wajah pemuda amrod (yang tidak berjanggut dan tanpan) bagi para lelaki, maka diharamkan untuk memandang jika dikhawatirkan fitnah, dan jika tidak dikhawatirkan fitnah maka tidak diharamkan. Karena para lelaki senantiasa terbuka wajah-wajah mereka sejak zaman-zaman lalu, dan para wanita senantiasa keluar dengan bercadar. Kalau seandainya wajah para lelaki adalah aurot bagi wanita maka tentunya para lelaki akan diperintahkan untuk bercadar atau dilarang untuk keluar kecuali karena darurat" (Ihyaa Uluum Ad-Diin 2/47)
Sangat jelas dalam pernyataan Al-Gozali diatas akan wajibnya bercadar, karena jelas beliau menyatakan bahwa wajah wanita adalah aurot yang tidak boleh dipandang oleh lelaki asing, karenanya para wanita bercadar. Jika wajah para lelaki adalah aurot yang tidak boleh dipandang oleh para wanita secara mutlak maka para lelaki tentu akan diperintahkan bercadar.
(3) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata
ويحرم نظر فحل بالغ إلى عورة حرة كبيرة أجنبية وكذا وجهها وكفيها عند خوف فتنة وكذا عند الأمن على الصحيح
"Dan diharamkan seorang lelaki dewasa memandang aurot wanita dewasa asing, demikian juga haram memandang wajahnya dan kedua tangannya tatkala dikhawatirkan fitnah, dan demikian juga haram tatkala aman dari fitnah menurut pendapat yang benar" (Minhaaj At-Tholibin hal 95)
Ar-Romly tatkala menjelaskan perkataan An-Nawawi di atas, beliau berkata :
(على الصحيح) ووجَّهه الإمام باتفاق المسلمين على منع النساء أن يخرجن سافرات الوجوه وبأن النظر مظنة الفتنة ومحرك للشهوة فاللائق بمحاسن الشريعة سد الباب والإعراض عن تفاصيل الأحوال كالخلوة بالأجنبية وبه اندفع القول بأنه غير عورة فكيف حرم نظره لأنه مع كونه غير عورة نظره مظنة للفتنة أو الشهوة ففطم الناس عنه احتياطا
"(menurut pendapat yang benar), dan Al-Imam (Imamul Haromain al-Juwaini) berdalil untuk pendapat ini dengan "kesepakatannya kaum muslimin untuk melarang para wanita keluar dalam kondisi terbuka wajah-wajah mereka, dan juga karena melihat (wajah-wajah mereka) sebab timbulnya fitnah dan menggerakan syahwat. Maka yang pantas dan sesuai dengan keindahan syari'at adalah menutup pintu dan berpaling dari perincian kondisi-kondisi seperti berkholwat (berdua-duaan) dengan wanita ajnabiah (wanita yg bukan mahram -pen)". Dengan demikian tertolaklah pendapat bahwa wajah bukanlah aurot, lantas bagaimana diharamkan memandangnya?, karena meskipun wajah bukan aurot maka memandangnya sebab menimbulkan fintah atau syahwat, maka orang-orang dilarang untuk melihat wajah sebagai bentuk kehati-hatian" (Nihaayatul Muhtaaj 6/187)
(4) As-Suyuthy rahimahullah, beliau berkata :
المرأة في العورة لها أحوال حالة مع الزوج ولا عورة بينهما وفي الفرج وجه وحالة مع الأجانب وعورتها كل البدن حتى الوجه والكفين في الأصح وحالة مع المحارم والنساء وعورتها ما بين السرة والركبة وحالة في الصلاة وعورتها كل البدن إلا الوجه والكفين
"Wanita dalam perihal aurot memiliki beberapa kondisi, (1) kondisi bersama suaminya, maka tidak ada aurot diantara keduanya, dan ada pendapat bahwa kemaluan adalah aurot (2) kondisi wanita bersama lelaki asing, maka aurotnya adalah seluruh badannya bahkan wajah dan kedua telapak tangan menurut pendapat yang lebih benar, (3) Kondisi bersama para mahromnya dan para wanita lain, maka aurotnya antara pusar dan lutut, (4) dan aurotnya tatkala sholat adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan" (Al-Asybaah wan Nadzooir hal 240)
(5) As-Subki rahimahullah, beliau berkata :
الأقرب إلى صنع الأصحاب: أن وجهها وكفيها عورة في النظر لا في الصلاة
"Yang lebih dekat kepada sikap para ulama syafi'iyah bahwasanya wajah wanita dan kedua telapak tangannya adalah aurot dalam hal dipandang bukan dalam sholat" (Sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaaj Ilaa Ma'rafat Alfaazh al-Minhaaj 3/129)
(6) Ibnu Qoosim (wafat 918 H) rahimahullah, beliau berkata:
(وجميع بدن) المرأة (الحُرَّة عورة إلا وجهها وكفيها). وهذه عورتها في الصلاة؛ أما خارجَ الصلاة فعورتها جميع بدنها
"Dan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurot kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan ini adalah aurotnya dalam sholat, adapun di luar sholat maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya" (Fathul Qoriib Al-Mujiib fi Syar Alfaadz at-Taqriib hal 84)
(7) Asy-Syarbini rahimahullah, beliau berkata :
ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة , وأن يصلي في الرجل متلثماً والمرأة منتقبة إلا أن تكون في مكان وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر إليها , فلا يجوز لها رفع النقاب
"Dan dimakaruhkan seorang lelaki sholat dengan baju yang ada gambarnya, demikian juga makruh sholat dengan menutupi wajahnya. Dan dimakruhkan seorang wanita sholat dengan memakai cadar kecuali jika ia sholat di suatu tempat dan ada para lelaki ajnabi (bukan mahramnya-pen) yang tidak menjaga pandangan mereka untuk melihatnya maka tidak boleh baginya untuk membuka cadarnya" (Al-Iqnaa' 1/124)
(8) Abu Bakr Ad-Dimyaathy rahimahullah, beliau berkata:
واعلم أن للحرة أربع عورات فعند الأجانب جميع البدن وعند المحارم والخلوة ما بين السرة والركبة وعند النساء الكافرات ما لا يبدو عند المهنة وفي الصلاة جميع بدنها ما عدا وجهها وكفيها
"Ketahuliah bahwasanya bagi wanita merdeka ada 4 aurot, (1) tatkala bersama para lelaki asing maka aurotnya seluruh badannya, (2) tatkala bersama mahrom dan tatkala kholwat (sedang bersendirian) maka aurotnya adalah antara pusar dan lutut, (3) tatkala bersama para wanita kafir aurotnya adalah apa yang biasa nampak tatkala bekerja, (4) tatkala dalam sholat aurotnya adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya' (Hasyiah Iaanat Thoolibin 1/113)
Beliau juga berkata ;
ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة أو نقش لأنه ربما شغله عن صلاته وأن يصلي الرجل متلثما والمرأة منتقبة إلا أن تكون بحضرة أجنبي لا يحترز عن نظره لها فلا يجوز لها رفع النقاب
"Dan dibenci sholat di baju yang ada gambarnya atau bordirannya karena bisa jadi menyibukannya dari sholatnya, dan dimakruhkan seorang lelaki sholat dengan menutup wajahnya, juga dimakaruhkan wanita sholat dengan bercadar, kecuali jika dihadapan seorang lelaki ajnabi yang tidak menjaga pandangannya dari melihatnya maka tidak boleh baginya membuka cadarnya" (Haasyiah I'aanat Thoolibiin 1/114)
(9) Asy-Syarwaani rahimahullah berkata:
قال الزيادي في شرح المحرر بعد كلام: وعرف بهذا التقرير أن لها ثلاث عورات عورة في الصلاة وهو ما تقدم، وعورة بالنسبة لنظر الاجانب إليها جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد، وعورة في الخلوة وعند المحارم كعورة الرجل اه. ويزد رابعة هي عورة المسلمة بالنسبة لنظر الكافرة غير سيدتها ومحرمها وهي ما لا يبدو عند المهنة
"Az-Zayyaadi berkata dalam syarh Al-Muharror… "Dan diketahui berdasarkan penjelasan ini bahwasanya seorang wanita merdeka memiliki 3 kondisi aurot (1) Aurot dalam sholat, yaitu sebagaimana telah lalu (seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan-pen), (2) Aurot jika ditinjau dari pandangan para lelaki asing kepadanya maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya bahkan wajah dan kedua tagannya menurut pendapat yang jadi patokan, (3) Aurotnya tatkala sedang bersendirian atau bersama mahram maka seperti aurtonya lelaki (antara pusar dan lutut-pen)"
Ditambah yang ke (4) Aurotnya ditinjau dari pandangan wanita kafir kepadanya jika wanita tersebut bukan tuannya dan juga bukan mahramnya, maka aurotnya adalah yang biasa nampak tatkala kerja" (Haasyiat Asy-Syarwaani 'alaa Tuhfatil Muhtaaj 2/112)
(10) An-Nawawi Al-Bantani Al-Jaawi (wafat 1316 H) rahimahullah, beliau berkata :
"Dan aurot wanita merdeka dan budak dihadapan para lelaki asing yaitu jika mereka memandang kepada mereka berdua adalah seluruh tubuh bahkan termasuk wajah dan kedua telapak tangan, bahkan meskipun tatkala aman dari fitnah. Maka haram bagi mereka untuk melihat sesuatupun dari tubuh mereka berdua meskipun kuku yang terlepas dari keduanya" (Kaasyifat As-Sajaa 'alaa Safinatin Najaa hal 63-64)
(11) Ibnu Umar Al-Jaawi (wafat 1316 H) rahimahullah, beliau berkata
والحرة لها أربع عورات : ...رابعتها جميع بدنها حتى قلامة ظفرها وهي عورتها عند الرجال الأجانب فيحرم على الرجل الأجنبي النظر إلى شيء من ذلك ويجب على المرأة ستر ذلك عنه
"Dan wanita merdeka memiliki 4 kondisi tentang aurat…kondisi yang keempat adalah seluruh tubuh sang wanita bahkan kukunya , dan ini adalah aurotnya tatkala ia di hadapan para lelaki yang asing, maka haram bagi seorang lelaki ajnabi (asing) untuk melihat sebagian dari hal itu, dan wajib bagi sang wanita untuk menutup hal itu dari sang lelaki" (Nihaayat az-Zain Fi Irsyaadil Mubtadiin, hal 47)
KEDUA : PARA MUFASIIR SYAFI'IYAH
Berikut ini akan penulis sampaikan perkataan para ahli tafsir yang bermadzhab syafi'iyah tatkala mereka menafsirkan ayat tentang wajibnya berjilbab, yaitu firman Allah :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)
"Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Ahzaab : 59)
(1) Abul Mudzoffar As-Sam'aani (wafat 489 H) rahimahullah, beliau berkata :
قال عبيدة السلماني : تتغطى المرأة بجلبابها فتستر رأسها ووجهها وجميع بدنها إلا إحدى عينيها
"Berkata 'Abiidah As-Salmaaniy : Wanita menutup diri dengan jilbabnya, maka ia menutup kepalanya, wajahnya, dan seluruh tubuhnya kecuali salah satu matanya" (Tafsiirul Qur'aan 4/307)
(2) Ilkyaa Al-Harroosy (wafat 504 H)rahimahullah, beliau berkata
الجلباب: الرداء، فأمرهن بتغطية وجوهن ورؤوسهن، ولم يوجب على الإماء ذلك
"Jilbab adalah selendang kain, maka Allah memerintahkan para wanita untuk menutup wajah-wajah mereka, dan hak ini tidak wajib bagi para budak wanita" (Ahkaamul Qur'aan 4/354)
(3) Al-Baghowi (wafat 516 H) rahimahullah, beliau berkata :
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو عُبَيْدَةَ: أَمَرَ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِينَ أن يغطين رؤوسهن ووجوهن بِالْجَلَابِيبِ إِلَّا عَيْنًا وَاحِدَةً لِيُعْلَمَ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ
"Ibnu Abbaas dan Abu Ubaidah berkata : Allah memerintahkan para wanita kaum muslimin untuk menutup kepala mereka dan wajah mereka dengan jilbab kecuali satu mata, agar diketahui bahwasanya mereka adalah para wanita merdeka (bukan budak)" (Tafsir Al-Baghowi 6/376)
(4) Ar-Roozi (wafat 606 H) rahimahullah, beliau berkata :
وقوله ذالِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ قيل يعرفن أنهن حرائر فلا يتبعن ويمكن أن يقال المراد يعرفن أنهن لا يزنين لأن من تستر وجهها مع أنه ليس بعورة لا يطمع فيها أنها تكشف عورتها فيعرفن أنهن مستورات لا يمكن طلب الزنا منهن
"Dan firman Allah ((Yang demikian itu agar mereka dikenal dan tidak diganggu)), dikatakan maknanya adalah mereka dikenal bahwa mereka adalah para wanita merdeka, maka mereka tidak diikuti. Dan mungkin untuk dikatakan bahwasanya mereka tidak berzina. Karena wanita yang menutup wajahnya –padahal wajah bukan aurot- maka tidak bisa diharapkan untuk membuka aurotnya, maka dikenalah mereka bahwa mereka adalah para wanita yang tertutup dan tidak mungkin meminta berzina dari mereka"(Mafaatiihul Ghoib 25/198-199)
(5) Al-Baidhoowi (wafat 691 H)rahimahullah, beliau berkata :
يغطين وجوههن وأبدانهن بملاحفهن إذا برزن لحاجة
"Mereka para wanita menutup wajah-wajah mereka dan tubuh mereka dengan kain-kain mereka jika mereka keluar karena ada keperluan" (Tafsiir Al-Baidhoowi 1/386)
(6) Tafsir Jalaalain
جمع جلباب وهي الملاءة التي تشتمل بها المرأة أي يرخين بعضها على الوجوه إذا خرجن لحاجتهن إلا عينا واحدة
"Jalaabiib adalah kata jamak/prular dari jilbab, yaitu pakaian yang dipakai oleh wanita. Yaitu mereka menjulurkan sebagian jilbab ke wajah-wajah mereka jika mereka keluar untuk keperluan mereka, kecuali (dibuka) satu matanya" (Tafsir Jalaalain hal 559)
PERINGATAN
Ada beberapa peringatan yang perlu diketahui:
Pertama : Jika wajah wanita bukan aurot (sebagaimana pendapat sebagian ulama syafi'iyah) maka tetap hanya boleh dipandang kalau ada haajah/keperluan syar'i.
Sebagian ulama madzhab syafi'iyah memandang bahwa wajah bukanlah aurot karena beralasan bahwasanya wajah diperlukan untuk dilihat dalam kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi para ulama tersebut tidaklah bermaksud bahwasanya wajah wanita boleh dilihat secara mutlak, akan tetapi mereka menyatakan bahwa wajah wanita hanya boleh dilihat tatkala ada haajah (kebutuhan), seperti tatkala sang wanita menjadi saksi, atau tatkala terjadi akad jual beli, atau dilihat dalam rangka untuk mengobati, dll (lihat penjelasan Al-Maawardi rahimahullah tentang sebab-sebab yang membolehkan memandang wajah wanita, di Al-Haawi Al-Kabiir 9/35-36). Adapun hanya sekedar memandang wajah wanita tanpa sebab/keperluan yang syar'i maka tidak diperbolehkan.
(1) Asy-Syiroozi rahimahullah berkata :
وأما من غير حاجة فلا يجوز للأجنبي أن ينظر إلى الأجنبية ولا للأجنبية أن تنظر إلى الأجنبي لقوله تعالى { قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم }
"Adapun jika tidak ada hajah (keperluan) maka tidak boleh seorang lelaki ajnabi melihat kepada seorang wanita ajnabiah dan tidak pula boleh wanita ajnabiah memandang lelaki ajnabi karena firman Allah ((Katakanlah kepada para lelaki mukmin untuk menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.))…"(Al-Muhadzdzab 2/34)
(2) Al-Baihaqi (wafat 458 H) berkata :
بَابُ تَحْرِيمِ النَّظَرِ إِلَى الْأَجْنَبِيَّاتِ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ مُبِيحٍ
"Bab haramnya memandang para wanita ajnabiyat tanpa ada sebab yang membolehkan" (As-Sunan Al-Kubro 7/143)
Beliau juga berkata :
وأما النظر بغير سبب مبيح لغير محرم فالمنع منه ثابت بآية الحجاب
"Adapun memandang kepada selain mahram tanpa sebab yang membolehkan, maka pelarangannya telah tetap dengan ayat al-Qur'an tentang wajibnya berhijab" (Ma'rifat As-Sunan wa Al-Aatsaar 10/23)
(3) Abu Syujaa' Al-Ashfahaani (wafat 593 H) rahimahullah berkata :
وَنَظَرُ الرجلَ إلىَ المرْأة عَلى سَبْعَة أضْربٍ: أحَدُهَا: نَظَرهُ إلى أجَنَبيَّة لغَيْرِ حَاجَة، فَغَيْرُ جَائِز
"Dan pandangan seorang lelaki kepada wanita ada 7 model, yang pertama : Pandangannya kepada soerang wanita ajnabiyah tanpa ada keperluan, maka hal ini tidak diperbolehkan" (Matan Abi Syujaa' hal 158)
(4) Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H) rahimahullah berkata :
ويحرم نظر فحل بالغ ومراهق إلى عورة كبيرة أجنبية ووجهها وكفيها لغير حاجة
"Dan diharamkan bagi seorang lelaki dewasa dan juga remaja untuk memandang aurot wanita dewasa ajnabiyah dan wajahnya serta kedua telapak tangannya jika tanpa ada keperluan" (At-Tadzkiroh hal 120)
Kedua : Para ulama syafi'iyah sepakat jika memandang wajah wanita jika khawatir terfitnah atau memandang dengan syahwat dan berledzat-ledzat maka haram hukumnya. Bahkan sebagian ulama syafi'iyah menukil adanya ijmak (konsensus) para ulama dalam permasalahan ini. Diantara para ulama tersebut :
(1) Imamul Haromain al-Juwaini (wafat 478 H) , beliau berkata :
والنظر إلى الوجه والكفين يحرم عند خوف الفتنة إجماعاً
"Dan melihat kepada wajah dan kedua telapak tangan haram tatkala dikhawatirkan fitnah, berdasarkan ijmak (konsensus) ulama" (Nihaayatul Mathlab fi Diooyatil madzhab 12/31)
(2) Ibnu Hajr Al-Haitami rahimahullah berkata
وكذا وجهها أو بعضه ولو بعض عينها وكفها أي كل كف منها وهو من رأس الأصابع إلى المعصم عند خوف فتنة إجماعا من داعية نحو مس لها أو خلوة بها وكذا عند النظر بشهوة بأن يلتذ به وإن أمن الفتنة قطعا
"Demikian pula diharamkan melihat wajah sang wanita atau sebagian wajahnya bahkan meskipun sebagian matanya, dan juga telapak tangannya, yaitu seluruh telapak tangannya dari ujung jari-jari hingga pergelangan tangan, tatkala dikhawatirkan fitnah -berdasarkan ijmak ulama-, yaitu fitnah yang mendorong untuk menyentuh sang wanita atau berdua-duannya dengannya. Demikian pula memandangnya dengan syahwat tentu diharamkan meskipun aman dari fitnah" (Nihaayatul Muhtaaj 6/187)
(3) Al-Bujairimy rahimahullah, beliau berkata ;
وَأَمَّا نَظَرُهُ إلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ فَحَرَامٌ عِنْدَ خَوْفِ فِتْنَةٍ تَدْعُو إلَى الِاخْتِلَاءِ بِهَا لِجِمَاعٍ أَوْ مُقَدِّمَاتِهِ بِالْإِجْمَاعِ كَمَا قَالَهُ الْإِمَامُ ، وَلَوْ نَظَرَ إلَيْهِمَا بِشَهْوَةٍ وَهِيَ قَصْدُ التَّلَذُّذِ بِالنَّظَرِ الْمُجَرَّدِ وَأَمِنَ الْفِتْنَةَ حَرُمَ قَطْعًا
"Adapun memandang kepada wajah dan kedua telapak tangan maka hukumnya haram tatkala dikhawatirkan fitnah yang mendorong untuk berkhalwat dengan sang wanita untuk berjimak atau pengantar jimak –berdasarkan ijmak ulama-, sebagaimana yang dikatakan oleh Imaamul Haromain al-Juwaini. Kalau melihat kepada sang wanita dengan syahwat atau dengan tujuan berledzat-ledzat dengan sekedar memandang dan aman dari fitnah maka hukumnya jelas haram" (Hasyiyah al-Bujairimy 'ala al-Khothiib 10/63)
Ketiga : Memakai cadar merupakan perkara yang telah dikenal sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga saat ini. Karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang pakaian wanita yang hendak ihrom :
وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ
"Wanita yang ihrom tidak boleh memakai cadar" (HR Al-Bukhari no 1837)
Hadits ini menunjukkan bahwa memakai cadar merupakan kebiasaan para wanita di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karenanya Nabi mengingatkan agar mereka tidak memakai cadar tatkala sedang ihram.
Tradisi kaum muslimat memakai cadar juga telah ditegaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqolaani rahimahullah. Beliau berkata :
استمرار العمل على جواز خروج النساء إلى المساجد والاسواق والاسفار منتقبات لئلا يراهن الرجال ولم يؤمر الرجال قط بالانتقاب ... إذ لم تزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن منتقبات
"Berkesinambungannya praktek akan bolehnya para wanita keluar ke mesjid-mesjid dan pasar-pasar serta bersafar dalam kondisi bercadar agar mereka tidak dilihat oleh para lelaki. Dan para lelaki sama sekali tidak diperintahkan untuk bercadar…dan seiring berjalannya zaman para lelaki senantiasa membuka wajah mereka dan para wanita keluar dengan bercadar.." (Fathul Baari 9/337)
Ibnu Hajar juga berkata :
ولم تزل عادة النساء قديما وحديثا يسترن وجوههن عن الاجانب
"Dan senantiasa tradisi para wanita sejak zaman dahulu hingga sekarang bahwasanya mereka menutup wajah-wajah mereka dari para lelaki asing" (Fathul Baari 9/324)
wallahu a'alam